Blognya Anak ManaGemenT

Analisi Pendapatan Nasional : Hubungan Ekonomi, Inflasi Dan Pengangguran

Posted by Naziri Andanta (Mekhanai Kesih) On Minggu, 25 Juli 2010 0 komentar

Angka inflasi akhirnya menembus ambang psikologis 10 persen. BPS mencatat sepanjang Januari-Oktober 2005, laju inflasi mencapai 15,65 persen dengan angka tertinggi 8,7 persen pada Oktober.

Pada saat yang sama, BPS mengumumkan kenaikan tingkat pengangguran terbuka dari 10,9 juta orang menjadi 11,6 juta orang selama kurun waktu Maret ke Oktober 2005. Dengan kata lain, jumlah pengangguran meningkat 700 ribu orang atau 0,58 persen dalam kurun waktu tujuh bulan saja.

Selain angka pengangguran, beberapa indikator ekonomi agregat juga mengindikasikan semakin sempoyongannya ekonomi Indonesia memasuki 2006. Laju pertumbuhan secara umum pada triwulan II 2005 (5,5 persen) terlihat melemah ketimbang triwulan I 2005 (6,2 persen) dan triwulan IV 2004 (6,4 persen).
>


Selain itu, beberapa indikator makroekonomi lain, seperti tingkat investasi, konsumsi swasta, ekspor, serta peningkatan kapasitas produksi total, juga menunjukkan gejala pemburukan ketimbang periode sebelumnya.

Kondisi itu menunjukkan stagflasi atau terciptanya pelemahan ekonomi secara umum bersamaan dengan membubungnya tingkat harga. Namun, sejauh mana hal itu bisa membawa kepada krisis ekonomi baru?

Simulasi
Untuk menganalisis kemungkinan ke arah itu, saya mencoba melakukan satu simulasi ekonomi menggunakan model computable general equilibrium (CGE) Indoceem, yang dikembangkan Monash University dan pemerintah Indonesia (Departemen Pertambangan dan Energi serta BPS).

Model CGE Indoceem adalah hasil modifikasi lebih lanjut model CGE Indorani. Model itu dikhususkan untuk menganalisis dampak kebijakan di bidang energi, seperti masalah BBM terhadap besaran-besaran makroekonomi; seperti nilai tukar mata uang, inflasi, pengangguran, dan pendapatan nasional.

Indoceem juga memungkinkan semua estimasi dilakukan satu tahap, bukan dalam dua tahap sebagaimana yang dilakukan suatu lembaga penyelidikan ekonomi beberapa waktu lalu. Penjelasan secara lengkap akan model itu bisa didapatkan padahttp://www.monash.edu.au/policy/oranig.htm.

Dengan menggunakan asumsi jangka pendek (constant capital stock dan endogeneous labour) serta kenaikan harga BBM pada September dan Oktober 2005 sebagai elemen perubahan kebijakan, simulasi memprediksikan bukan hanya akan terdapat kenaikan angka inflasi rata-rata 4,1 persen, tetapi juga kenaikan tingkat pengangguran terbuka 2,42 persen.

Dari analisis lanjutan, terlihat kenaikan tingkat pengangguran itu dipicu kontraksi pada tingkat pengembalian modal (-3,23 persen), sewa tanah (-4.52 persen) serta konsumsi rumah tangga (-3.12 persen).

Secara agregat, simulasi memprediksikan penurunan total pendapatan nasional 0,31 persen. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM tidak cukup menjadi alasan timbulnya krisis ekonomi baru. Sebab, penurunan tingkat pendapatan nasional tidak terlalu signifikan melebihi angka satu persen.

Berkaitan dengan angka inflasi, model CGE Indoceem memprediksikan kenaikan harga rata-rata (4,1 persen) jauh lebih kecil daripada angka empiris pada Oktober yang dikeluarkan BPS (8,7 persen). Perbedaan itu setidaknya disebabkan tiga hal.

Pertama, perekonomian Indonesia belum mengadaptasi sepenuhnya dampak kenaikan harga BBM pada September dan Oktober lalu. Itu terlihat dari kecenderungan meningkatnya hampir semua harga komoditas.

Padahal, bila perekonomian telah mengadaptasi penuh dampak kenaikan BBM, seharusnya terdapat juga harga komoditas yang menurun akibat berkurangnya permintaan konsumen.

Kedua, terdapat faktor-faktor ekonomi lain yang mempengaruhi tingginya tingkat inflasi pada Oktober. Lonjakan harga pada bulan itu tidak bisa diatribusikan semata pada kenaikan harga BBM. Pengaruh perayaan bulan puasa/ hari raya Lebaran serta masih tingginya kurs rupiah dan harga impor bahan mentah juga ikut melambungkan harga banyak komoditas lebih dari proporsional, seperti kenaikan harga pada transportasi dan bahan makanan.

Ketiga, lebih tingginya inflasi ex-post (empiris) dari yang diprediksikan (ex-ante) juga dipicu merebaknya psikologi pesimistis masyarakat. Pesimisme itu disebabkan, antara lain, oleh beragam pemberitaan sosial politik negatif dan ketidakpedulian sebagian besar politisi terhadap pemburukan kondisi di masyarakat.

Dalam hal itu, pelonjakan tingkat inflasi harus ditindaklanjuti berbagai kebijakan yang tidak semata bertumpu pada instrumen suku bunga, yang justru bisa bersifat lebih destruktif pada perekonomian tanah air.

Suku bunga hanya bersifat efektif meredam inflasi yang disebabkan perbedaan tingkat paritas pengembalian pasar uang. Sementara itu, untuk inflasi yang dipicu kenaikan komoditas di pasar riil, seperti bahan-bahan makanan dan kebutuhan akan transportasi seperti saat ini, tidak ada hal yang lebih efektif untuk meredam kenaikan harga selain dengan intervensi melalui operasi pasar dan pembukaan keran impor.

Operasi Pasar
Karena itu, pemerintah harus menambah intensitas operasi pasar pasca perayaan Lebaran. Bahkan, perlu dipertimbangkan penghapusan bea masuk impor bahan-bahan makanan. Sebab, komoditas tersebut berkontribusi sangat tinggi terhadap penghitungan indeks harga konsumen (IHK).

Selain itu, yang juga sangat penting dan harus mendapat perhatian lebih adalah penurunan pada tingkat pendapatan modal. Bila tidak diantisipasi secara dini, penurunan tersebut akan berdampak sangat berbahaya pada perekonomian nasional.

Turunnya tingkat pendapatan modal akan semakin membuat Indonesia tidak menarik bagi para investor, baik dalam maupun luar negeri. Padahal saat ini, terdapat kebutuhan besar kapital pada perekonomian domestik untuk penambahan dan peremajaan infrastruktur dan kapasitas pada sektor industri.

Bila investasi terhambat, bukan hanya peremajaan dan penambahan infrastruktur serta barang modal yang tersendat, tetapi juga akan terjadi penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja yang terkait langsung dengan tingkat pengangguran terbuka. Padahal, sekitar 1,8 juta pencari kerja baru diperkirakan muncul pada 2006.

Karena itu, menjadi satu keharusan bagi pemerintah untuk segera membenahi iklim investasi domestik. Berbagai pungutan-pungutan resmi maupun tidak resmi yang selama ini menghantui dunia usaha dan menyebabkan maraknya ekonomi biaya tinggi harus segera diperangi.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohom Komentar nya yA temAn.....

Karena sayA jugA masih Tahap Belajar....

Thanks 4 ALL